Cinta kok Buta? Mari Mencoba Melogika Perasaan

Dalam hidup, setiap dari kita pernah mencintai seseorang yang tidak pernah bisa dimiliki. Baik pria atau wanita selalu memilki seseorang yang tidak pernah bisa dimiliki. Ini bukan tentang Bias Idol Kpop atau semacamnya. Tapi benar-benar orang yang pernah bertemu dan berteman dekat.

Kenapa demikian? Akupun juga bertanya-tanya apakah karena pada masa itu spekulasi/ekpetasi kita sendiri yang terlalu rumit sehingga memperumit hal yang mudah?

Dewasa ini kupikir tidak ada yang benar-benar mustahil, Siapapun bisa bersama siapapun. Tapi mengenai cinta sejati aku sendiri selalu memposisikannya terlalu tinggi sehingga sulit memulai langkah pertama.

Tetapi lucunya jika aku tidak begitu mencintai seseorang dan aku bisa nyaman bertindak sebagai diriku sendiri maka orang tersebut lebih mudah didapatkan.

Ini bukan soal paras, terkadang kita memiliki pasangan yang lebih rupawan ketimbang seseorang yang tidak bisa dimiliki tersebut. Ini soal rasa, perasaan tidak pantas, perasaan minder, perasaan kagum, harus sempurna, dan semacamnya. Selalu saja kita tidak pernah bisa menjadi diri sendiri saat ada dirinya.

Selalu berusaha menjadi sosok ideal baginya. Selalu tentang dia, diri sendiri terlupakan.

Dahulu aku selalu berpikir bahwa jika suatu hari aku mendapatkan cintanya aku akan bahagia, tapi sekali lagi itu hanya spekulasiku. Secara sadar aku juga menyadari bahwa mungkin sosok itu bukan yang terbaik, belum tentu juga akan sebahagia itu.

Tidak pernah bisa menjadi diri sendiri di depannya adalah sebuah penderitaan, mungkin aku bisa bilang bahwa caraku bahagia adalah dengan meilhatnya bahagia tetapi .. jujur saja itu tetap tidak masuk akal bagiku.

Sekali lagi terlepas dari paras rupa. Ada sebuah perasaan aneh yang mana kita akan mencintainya secara buta, bagaimanapun dirinya bagaimanapun bentuknya seolah kita akan tetap mencintainya seolah dia adalah mahluk suci yang bahkan jika pun mendosa, kesuciannya tidak akan dapat luntur.

(aku tahu aku melakukan mengulangan xD maafkan aku )

Di lain sisi ada oranglain yang dengan mudah mendapatkan dirinya, dan jika kita berpikir di luar kotak. Bisa saja yang kita dapatkan sekarang ini yang kita tidak terlalu memujanya seperti cinta sejati tadi, dia yang biasa saja itu. Bisa saja adalah cinta sejati seseorang dan kita dengan mudah mendapatkannya?

Jadi apa yang salah di sini? Cinta benar-benar hal rumit untuk diperhitungkan!.

Source : Canva.com

Mungkin dengan mencoba berpikir dan bertindak sebagai orang lain bisa membantu, mencoba melihat cinta sejati sebagai oranglain? Mungkin terdengar masuk akal nan logis tapi cobalah lakukan..

aku berani bertaruh persiapanmu akan luntur setelah kata “Hei..”

OMB ..(oh my buddha, I mean)

Apakah kita benar-benar harus menuruti perasaan untuk menjadi oranglain yang ideal untuknya agar bisa memenuhi persepsi bahagia semu tersebut?

Atau memalingkan wajah dan berfokus kepada diri sendiri dengan bersama seseorang yang membuat kita bisa menjadi diri sendiri??

Sepertinya tidak ada pilihan benar salah disini.

Bisa saja kita benar-benar bahagia dengan cinta sejati bisa juga seseorang yang memberi perasaan untuk menjadi diri sendiri lebih membahagiakan.

Jika bisa mengenyampingkan ‘Perasaan’ mungkin seseorang yang membuat kita nyaman adalah yang terbaik. Tapi ini adalah tentang cinta bukan?

Keadaan Bisa Lebih Buruk Ketika Keinginan Telah Tercapai.

Kita manusia memiliki Dopamine tinggi ketika menginginkan sesuatu, bahkan Dopamine para Pemain kartu lebih tinggi ketika mereka Bermain ketimbang saat mereka Menang.

Mengertikan apa maksudku? Alias setelah mendapatkan cinta sejati apakah perasaan bahagia bisa tetap bertahan?

Karena yaa.. akui saja kita terlalu buta dalam mencintainya, selalu menolerir setiap kesalahannya, tidak melihat dirinya sebagai personal tetapi lebih ke perasaan kita saja untuk memenuhi ekpetasi semu ini.

Seolah kita tidak menikahi orang tersebut tetapi menikahi ekpetasi kita, benar bukan? Tidak ada yang tahu, jika perasaan hilang hanya tersisa seseorang yang tidak kita kenal menikah dengan dengan kita.

Lantas?? Apakah perlu menikahi cinta sejati demi mengetahui bahwa nyatanya kita tidak sebahagia yang dipikirkan sebelumnya?? Itu terlalu kejam bung pernikahan adalah sesuatu yang sakral.

Tetapi kebanyakan orang bahkan mungkin juga aku akan membiarkan diri dengan tidak memenuhi ekpetasi yang tidak masuk akal tersebut dengan menikahi seseorang yang bisa membuatku nyaman menjadi diri sendiri.

*apa?? jadi kamu berpikit bisa merubah seseorang? Berharap seiring waktu akan terjadi progesif hijau ? Simpan waktumu bung, ini bukan pasar saham.

Perasaan terlalu rumit jika di perhitungkan, hanya masalah waktu sampai perasaan itu pergi lalu menyadari bahwa logika banyak menyelamatkan diri dari banyak penderitaan.

Itu juga yang selalu mempelopori semboyan “Pikiran adalah Pelopor, jika Pikiran Mengendalikan Perasaan maka Hidup akan masuk akal” yas aku setuju meskipun aku lupa siapa yang mengatakan ini.

Aku setuju dengan pikiran logis meskipun persepsi tentang cinta sejati juga bagian dari produk pikiran.

Rumit yaa? Selama itu pikiran murni bukan berasal dari perasaan mungkin tidak akan seburuk itu. Tetapi jika perasaan adalah pelopornya, maka ,,,,,,,,,,,,,, (mencoba mencari kata yang sesuai xD)

Bantu aku menemukan kata yang seusai, silahkan tinggalkan komentarmu brader/sister :).

Akhir kata,

Begitulah aku, memiliki kerisauan dan terselesaikan sendiri dengan tulisanku sendiri (terjawab sendiri).

Senang rasanya bisa berbagi, semoga percintaan kamu lebih baik dariku.

6 pemikiran pada “Cinta kok Buta? Mari Mencoba Melogika Perasaan”

Tinggalkan komentar