Unpopular Opinion; lebih damai menjadi Subjektif dari pada Objektif.

Yaa! Kamu nggak salah baca. Di luar sana lebih banyak anggapan bahwa objektif itu lebih baik karena dianggap rasional lah, dianggap lebih bijak lah, atau hal semacamnya. Namun di sini saya berpendapat lain.

Sering kali kita dihadapkan pada sebuah masalah, dan di situlah pilihan untuk menjadi objektif atau subjektif. Sikap subjektif lebih merujuk pada bagaimana kita sebagai subjek menyikapi masalah/fenomena tersebut. Sedangkan objektif adalah tentang kita mengenyampingkan diri sebagai subjek dan lebih fokus kepada masalah/objek.

Sampai di sini masih terdengar lebih bagus objektif, ya? Tunggu sampai saya menceritakan tentang bagaimana saya melakukannya dengan sikap subjektif.

Jadi ketika kita dihadapkan masalah, kita yang subjektif ini bisa memilih sikap untuk netral, fight, atau escape. Anggap saja masalahnya adalah tentang rekan yang problematik. Secara objektif dia memang troublemaker dan itu nyata! Namun karena kita bersikap subjektif, kita tidak terlalu mempermasalahkannya. Meskipun objeknya bermasalah, namun objek masalah menjadi netral karena subjektivitas.

Pada kasus lain yang mana sumbernya bukan orang namun benda, anggap saja bunyi bising AC atau jalanan yang rusak. Pendekatan yang sama, bahwa memang benar AC dan jalanan lah yang bermasalah. Sikap subjektifnya adalah kita mengetahui bahwa itu bermasalah namun kita tidak mempermasalahkannya/tidak menganggapnya sebagai masalah. Ibarat sebuah jaring, kita memiliki ‘jaring masalah’ dengan rongga yang besar sehingga hal yang tidak terlalu penting/tidak besar tidak akan terjaring. Walaupun sebenarnya analogi ini juga kurang menggambarkannya, namun kurang lebih seperti itu.

Kembali ke masalah bising AC dan jalanan rusak tadi, secara subjek kita tahu bahwa jalan itu rusak, tapi ya sudah nanti juga berlalu nanti juga bertemu aspal depan yang tidak rusak. Dan untuk AC yang bising, ya sudah teknisi sudah ditelepon, nanti juga akan datang. Alias itu bukan masalah. Sebagai subjek kita tidak mempermasalahkannya!

Atau kita coba dengan hal lain seperti ketidakrapian, melihat gunting yang tidak diletakkan pada tempatnya. Secara objek memang benar bahwa itu tidak sesuai, namun sebagai subjek kita tidak mempermasalahkannya.

Sikap subjektif sangat membantu kita untuk bisa menghadapi realitas. Namun sikap subjektif biasanya benar-benar bisa terasa ketika kita sudah menguasai objektif.

– Loh kok?

Ya begitulah. Ketika saya memilih untuk subjektif, banyak yang mengira saya objektif, padahal seperti yang saya tulis di atas bahwa saya tidak menganggap banyak hal sebagai masalah. Karena terkadang saat tukang AC tidak datang pun saya tetap bisa tidur dengan membuka jendela. Jadi, di mana letak masalahnya? Apakah itu terdengar objektif? Sungguh, itu bukan masalah. Tidak ada objek, hanya ada subjek yang tidur dengan jendela terbuka. Itulah alasan kenapa seolah saya dianggap sangat objektif.

Karena semakin dewasa kita, semakin kita sepakat bahwa masalah itu ada karena kita menganggapnya sebagai masalah.

-Kenapa begitu?

Seiring waktu, saya mulai memakai pola pikir masalah–solusi–baru kemudian emosi. Alias memindahkan/mengeser emosi berada di posisi setelah solusi. Karena yaa yang sering melabeli sesuatu sebagai masalah adalah emosi. Sehingga harus dipindahkan ke posisi yang sesuai, namun tidak benar-benar menghilangkannya secara penuh.

Jadi ketika masalah sudah memiliki solusi, baru kita biarkan diri ini untuk memproses emosi. Di kondisi setelah solusi, emosi sering kali sudah tidak lagi terlalu dominan. Namun bukan berarti emosi hilang sepenuhnya, ia ada hanya kadarnya terlalu kecil untuk dilabeli sebagai masalah.

Singkatnya, kita tetap memberi space diri kita untuk merasa emosi, baik itu sedih, marah, atau apa pun karena itu bagian dari kita dan wajar, namun hanya digeser saja penempatannya! (Kuharap kamu bisa menangkap poin yang kumaksud.)

Kenapa kita dengan mudah tidak menganggap banyak hal yang jelas-jelas adalah masalah sebagai bukan masalah?

Karena hal yang dianggap masalah itu sebenarnya bukan benar-benar masalah.

Kesimpulannya, menjadi subjektif bukan berarti menolak kenyataan(menolak masalah) atau sebut saja menutup mata dari apa yang nyata. Justru, ini tentang mengenali kenyataan secara utuh — memahami apa adanya — lalu secara sadar memilih bagaimana kita ingin meresponsnya. sekali lagi bukan reaktif, melainkan lebih reflektif saja.

Subjektivitas bukan sikap “masa bodoh/acuh”, tapi kemampuan untuk memilah mana hal yang layak diberi perhatian, dan mana yang bisa dilepas tanpa beban. Setelah kita paham objektivitas, kita mulai belajar bahwa tidak semua hal butuh reaksi. Tidak semua ketidaksempurnaan harus ditertibkan. Tidak semua gangguan perlu dilabeli sebagai masalah.

Itulah kenapa saya pikir : masalah itu ada bukan ‘hanya karena’ kejadiannya nyata, tetapi karena kita memilih menganggapnya sebagai masalah. Ketika emosi tak lagi jadi penentu awal, dan solusi mendapat tempat lebih dulu, kita menemukan bahwa ketenangan ternyata bukan tentang dunia yang ideal — tapi tentang bagaimana kita menyikapi dunia sebagaimana adanya.

Karena pada akhirnya, hidup bukan sekadar soal benar atau salah. Bukan tentang dunia yang ideal, tapi tentang bagaimana kita bisa merasa damai menjalani dunia sebagaimana adanya. Dan untuk itu,ada mantra saktinya yaitu

“Yaudah.”

Tinggalkan komentar